Kahlil Gibran Sebagai Anomali Dunia Sastra (Artikel)

Hari kemarin (9/10), saya ditelepon seorang perempuan muda yang mengaku sebagai adik tingkat saya di Bahasa Inggris UPI. Ia duduk di tingkat 4 dan baru akan menyusun skripsi. Ia sedang mempertimbangkan untuk menulis skripsi tentang Kahlil Gibran. Sangat kebetulan sekali bahwa dulu, skripsi saya pun membahas masalah terjemahan buku Gibran dalam bahasa Indonesia. Nah, sang mahasiswi ini rupanya sempat membaca skripsi saya di Perpustakaan UPI. Untuk itu, ia lalu mencari tahu nomor telepon saya agar bisa berbicara langsung kepada saya untuk menanyakan beberapa hal seputar Kahlil Gibran. Cukup lama kami mengobrol di telepon. Itu cukup menginspirasi saya untuk membuat tulisan ini. Saya jadi agak bernostalgia dengan masa-masa ketika menyusun skripsi dahulu.

Nama Kahlil Gibran adalah nama penulis asing yang cukup dikenal di Indonesia sejak medio 1980-an, hampir setengah abad setelah ia wafat pada 1931. Saya, sebagai sarjana yang menyusun skripsi tentang Gibran, memandang Kahlil Gibran sebagai fenomena yang tergolong anomali. Mengapa demikian?

Anomali Pertama: Seorang Arab yang Kristen

Gibran adalah seorang penulis berkebangsaan Arab. Ia lahir di Bsharri, Lebanon pada 1883. Ia lahir sebagai anak keluarga penganut agama Kristen Maronit. Di planet ini, bangsa dan budaya Arab sangat identik dengan citra Islam, karena Arab adalah tanah tempat lahir dan berkembangnya Islam, serta Nabi umat Islam, Muhammad saw, adalah seorang Arab dan bahasa Arab adalah bahasa Al Qur’an[1] -kitab suci umat Islam.

Anomali Kedua: Seorang Kristen yang dikagumi di negeri Muslim

Gibran ialah seorang pengarang Kristen. Sementara, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang terbesar di dunia. Namun karyanya sangat dikagumi di Indonesia –negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.

Karya Gibran sangat laku dan terjadi booming di pasaran buku Indonesia[2] . kalau saya tak salah, The Prophet terjual hingga sekira sepuluh juta eksemplar. Kalau saya tidak keliru, The Prophet ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh Bahrum Rangkuti pada tahun 1949. Maka, jelaslah bahwa masyarakat di negeri Muslim ini (Indonesia) sangat tertarik kepada karya Kahlil Gibran, seorang Kristen.

Anomali Ketiga : Seorang Timur yang sangat berpengaruh kepada kesusastraan Barat

Salah satu implikasi kesuksesan karya Gibran adalah banyaknya jumlah karyanya yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa-bahasa Barat.lalu, tak pelak lagi bahwa ini akhirnya memengaruhi dunia susastra dan budaya Barat. Secara tak terduga, ia pun diakui sebagaisalah seorang penulis yang memilikikontribusi besar pada Sastra Modern Barat[3]. Misalnya kalimat : “Ask no what your country can do for you, but ask what you can do for your country”[4]. Kalimat ini sering dikutip sebagai ungkapan Kennedy, padahal ditulis pertama kali oleh Gibran. Kenyataan adanya seorang tokoh politik Barat yang meminjam kalimat dari seorang penyair Timur adalah sebuah paradoks yang membentuk anomali ketiga ini.

Dalam karya berbahasa Inggrisnya, Gibran nampk bagai pemberi nasehat dan pengkhotbah[5]. Dia berperan sebagai pendidik seperti pengarang zaman Pujangga Baru. Gibran bukan saja seorang pengarang yang menyusun kata dan mengarang naskah. Tidak cukup buat Gibran mengungkapkan pikiran saja. Harus juga mewujudkan pikirannya dalam kenyataan. Gibran menganggap bahwa seorang harus hidup sesuai dengan keyakinannya dan « menterjemahkan » keyakinan tersebut dalam kehidupannya. (Catatan Harian Mary Elizabeth Haskell, 18/04/1920). « Every thought I have imprisoned in expression I must free by my deeds », kata Gibran dalam Sand and Foam.

Anomali Keempat : Seorang Sastrawan Kristen yang banyak diinspirasi bahasa Al Qur’an

“You have Your Lebanon and I have My Lebanon”[6] (Gibran : 753). Kalimat Gibran ini jelas sangat mirip dengan ayat Al Qur’an yang diakuinya sendiri sebagai salah satu sumber ilhamnya,yakni ayat “Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”[7]. Contoh lainnya, kita bisa membaca dalam buku Potret Diri : “Dari Tuhan kita datang dan kepada-Nyalah kita akan kembali”[8]. Makna kata ini mungkin agak kabur karena bukuitu diterjemahkan dariversi bahasa Inggrisnya, padahal teks asli dalam bahasa Arabnya adalah sebuah ayat Al-Qur’an yang sering dikutip oleh orang Indonesia jika ada kematian : “Inna illahi wa inna Ilaihi rajiun”[9].

Dalam konteks ini, seorang sastrawan Muslim Indonesia, yakni Hamka, pernah berkomentar : “Bukan saja perpustakaan Arab itu dikuasai oleh yang beragama Islam. Dalam perpustakaan Arab modern terkenal juga nama-nama Kristian. […] Dan jangan heran ! Ada di antara mereka (orang Kristian itu) yang hafal Qur’an. Karena semuanya mengaku, bahwa Al-Qur’an adalah puncak keindahan bahasa Arab”[10].

Anomali Kelima : Seorang Sastrawan Kristen yang Sufistik

Gibran berkali-kali, hingga akhir hayatnya menyatakan dirinya sebagai penganut Kristen Maronit. Namun karya Gibran sering digolongkan berbau mistik atau sufi. Banyakkemiripan antara karya-karyanya dengan kalimat-kalimat para sufi. Contohnya, Syeikh al-Akbar membandingkan qalbunya dengan “biara para rahib Kristen, rumah berhala, ka‘bah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al-Qur’an”[11]. Lalu, Amin Rihani menulis : “No crescent no cross we adore ; nor Buddha nor christ we implore. Nor Muslim nor Jew we abhor : We are free. We are not of the East or the West. No boundaries exist in our breast. We are free”[12]. Kemudian, Gibran sendiri menulis : “I love you my brother, whoever you are ? whether you worship in your church, kneel in your temple, or pray in your mosque. You and I all are children of one faith, for the divers paths of religion are fingers of the loving hand of one Supreme Being, a hand extended to all, offering completeness of spirit to all, eager to receive all”[13].

Sebenarnya masih ada banyak dugaan anomali lainnya di kepala saya. Namun saya keburu malas menuliskannya di sini. Yang jelas, anomali ini pasti memiliki penjelasan yang bersumber dari kondisi dan situasi yang dihadapi Gibran maupun latar belakang kehidupannya, serta motivasinya sendiri dalam menampilkan dirinya. Étienne Naveau, seorang Pengajar Sastra Indonesia di INALCO, Paris, pernah mendefinisikan anomali ini sebagai ‘keunikan’ Gibran dengan alasan-alasan tertentu sebagai penjelasannya dalam sebuah makalah yang ia tulis untuk International Semonar on Redifining World Literature 2006 di Univerisitas Indonesia.

Bagi saya, Karya Gibran jelas tak perlu dipertanyakan lagi ketinggian kualitasnya. Yang membuat saya memaparkan anomali-anomali ini ialah keheranan saya pada kualitas tulisan-tulisan yang penuh hikmah Islami ternyata bisa keluar dari diri seorang Kristen Maronit. Saya mungkin dianggap naif karena mengatakan keheranan ini. Tapi, sejujurnya…, apakah hikmah dan kebijaksanaan memang ternyata bukan monopoli orang Islam? Ataukah hikmah dan kebijaksanaan dalam karya Gibran memang hanya meminjam wujud Gibran sebagai penulis, karena sumber inspirasi Gibran pun ternyata (salah satunya) adalah Al Qur’an?

Saya mungkin naifdan egois: Saya sangat percaya kepada alasan yang kedua. Menurut saya: Pada hakikatnya karya Gibran adalah ajaran Islam yang sekedar disarikan kembali oleh Gibran dalam sastra populer, tanpa dikaji oleh otak dan pikirannya demi membuahkan hidayah bagi dirinya. Maka, ia pun mati dalam kekafiran, walau karya-karyanya sungguh Islami…

Mahardhika Zifana

[1] QS 20: ayat 113 dan QS 39: ayat 28

[2] Faiz, Fahrudin. 2004. Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Yogyakarta, Tinta, cetakan ke-4 : IX

[3] http://www.american-litrature.com/Khalil_Gibran

[4] Kahlil Gibran. 1985. The treasured writings of Kahlil Gibran. USA: Castle Books, hal. 774

[5] Waterfield. 2000. Khalil Gibran. Un prophète en son temps. Québec: Fides. Hal. 255 [terjemahan dalam bahasa Perancis dari Prophet. The Life and Times of Kahlil Gibran, Allen Lane. The Penguin Press, United Kingdom, 1998].

[6] Kahlil Gibran. 1985. The treasured writings of Kahlil Gibran. USA: Castle Books, hal. 753

[7] QS 109: ayat 6

[8] Kahlil Gibran. 2000. Potret Diri. Jakarta: Pustaka Jaya (cetakan pertama : 1983), Hal. : 68 [disusun dan diterjemahkan dari bahasa Arab dengan kata pengantar oleh A. R. Ferris dan diterjemahkan dari bahasa Inggeris oleh R. Shiddieq].

[9] QS 2: ayat 156

[10] Hamka. 1974. Kenang-Kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang (cetakan pertama : 1951), jilid II: Hal. 86-87.

[11] Khalil Gibran. 2003. Yesus Yang Disalib. Jakarta: Nisita. Hal. 35-36 [uraian dan terjemahan oleh Bambang Noorsena]

[12] Hassan, Fuad. 2000.Menapak Jejak Khalil Gibran. Jakarta : Pustaka Jaya (cetakan pertama : 2000), hal. 107.

[13] [13] Kahlil Gibran. 1985. The treasured writings of Kahlil Gibran. USA: Castle Books, hal. 820





Dikutip dari: UPI
http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=6098.0

0 komentar:

Posting Komentar